Sukun adalah nama
sejenis pohon yang berbuah.
Buah sukun tidak berbiji dan memiliki bagian yang empuk, yang mirip roti setelah dimasak
atau digoreng. Karena itu, orang-orang Eropa mengenalnya sebagai "buah
roti" (Ingg.: breadfruit; Bld.:
broodvrucht, dll.). Asal-usul sukun diperkirakan dari kepulauan Nusantara
sampai Papua.
Mengikuti migrasi suku-suku Austronesia sekitar 2000 tahun sebelum Masehi,
tanaman ini kemudian turut menyebar ke pulau-pulau di Pasifik. Diperkirakan
pada masa perdagangan rempah di akhir zaman Majapahit,
sukun menyebar ke Jawa
dari Maluku.
Karena pengaruh kolonisasi bangsa-bangsa Eropa, sukun ini lalu menyebar ke
barat antara tahun-tahun 1750-1800 ke Malaysia, India, Srilangka, Mauritius,
dan pada 1899 tiba di Afrika. Kini sukun telah menyebar luas di berbagai belahan dunia
terutama di lingkar tropis.
Sukun
menyukai iklim tropis: suhu panas (20-40˚C), banyak hujan (2000-3000 mm
pertahun) dan lembap (lengas nisbi 70-90%), dan lebih cocok di dataran rendah,
di bawah 600 m dpl., meski dijumpai sampai sekitar 1500 m dpl. Anakan pohon
lebih baik tumbuh di bawah naungan, namun kemudian membutuhkan matahari penuh
untuk tumbuh besar. Meskipun kebanyakan kultivarnya akan tumbuh dengan baik
pada tanah-tanah aluvial yang subur, dalam dan berdrainase baik, akan tetapi
variasi kemampuannya sangat besar. Maka ada varietas-varietas yang tumbuh baik
di tanah berawa, tanah kapur, tanah payau dan lain-lain.
Ada yang
mengatakan bahwa daun sukun yang telah tua dan gugur, dapat digunakan untuk
pengobatan tradisional pembesaran prostat, menurunkan gula darah, serta
pengobatan gagal ginjal. Namun hal ini belum dilakukan penelitian lebih lanjut.
Sukun
sesungguhnya adalah kultivar yang terseleksi sehingga tak berbiji. Kata
"sukun" dalam bahasa Jawa berarti "tanpa biji" dan dipakai
untuk kultivar tanpa biji pada jenis buah lainnya, seperti jambu
klutuk dan durian.
"Moyangnya" yang berbiji (dan karenanya dianggap setengah liar)
dikenal sebagai timbul, kulur (bahasa
Sunda), atau kluwih (bahasa Jawa), kulu (bahasa Aceh), kalawi
(Minang). Di daerah Pasifik, kulur dan sukun menjadi sumber karbohidrat
penting. Di sana dikenal dengan berbagai nama, seperti kuru, ulu,
atau uru. Nama ilmiahnya adalah Artocarpus altilis.
Pohon sukun
(atau pohon timbul) umumnya adalah pohon tinggi, dapat mencapai 30 m, meski umumnya di
pedesaan hanya belasan meter tingginya. Hasil perbanyakan dengan klon umumnya pendek dan
bercabang rendah. Batang besar dan lurus, hingga 8 m, sering dengan akar papan
(banir) yang rendah dan memanjang.
Bertajuk
renggang, bercabang mendatar dan berdaun besar-besar yang tersusun
berselang-seling; lembar daun 20-40 × 20-60 cm, berbagi menyirip dalam, liat agak
keras seperti kulit, hijau tua mengkilap di sisi atas, serta kusam, kasar dan
berbulu halus di bagian bawah. Kuncup tertutup oleh daun penumpu besar yang
berbentuk kerucut. Semua bagian pohon mengeluarkan getah putih (lateks) apabila
dilukai.
Perbungaan
dalam ketiak daun, dekat ujung ranting. Bunga jantan dalam bulir berbentuk gada
panjang yang menggantung, 15-25 cm, hijau muda dan menguning bila masak, serbuk
sari kuning dan mudah diterbangkan angin. Bunga majemuk betina berbentuk bulat
atau agak silindris, 5-7 × 8-10 cm, hijau. Buah majemuk merupakan perkembangan
dari bunga betina majemuk, dengan diameter 10-30 cm. Forma berbiji (timbul)
dengan duri-duri lunak dan pendek, hijau tua. Forma tak berbiji (sukun)
biasanya memiliki kulit buah hijau kekuningan, dengan duri-duri yang tereduksi
menjadi pola mata faset segi-4 atau segi-6 di kulitnya.
Biji timbul
berbentuk bulat atau agak gepeng sampai agak persegi, kecoklatan, sekitar 2,5
cm, diselubungi oleh tenda bunga. Sukun tidak menghasilkan biji, dan tenda
bunganya di bagian atas menyatu, membesar menjadi 'daging buah' sukun
Buah sukun
(tak berbiji) merupakan bahan pangan penting sumber karbohidrat di pelbagai
kepulauan di daerah tropik, terutama di Pasifik dan Asia
Tenggara. Sukun dapat dimasak utuh atau dipotong-potong terlebih dulu:
direbus, digoreng, disangrai atau dibakar. Buah yang telah dimasak dapat
diiris-iris dan dikeringkan di bawah matahari atau dalam tungku, sehingga awet
dan dapat disimpan lama.
|
Kerajaan:
|
|
Filum:
|
|
Kelas:
|
|
Ordo:
|
|
Famili:
|
|
Genus:
|
|
Spesies:
|
A. altilis
|
|
|
|
Di
pulau-pulau Pasifik, kelebihan panen buah sukun akan dipendam dalam lubang
tanah dan dibiarkan berfermentasi beberapa minggu lamanya, sehingga berubah
menjadi pasta mirip keju yang awet, bergizi dan dapat dibuat menjadi semacam
kue panggang. Sukun dapat pula dijadikan keripik dengan cara diiris tipis dan
digoreng.
Sukun dapat
menghasilkan buah hingga 200 buah per pohon per tahun. Masing-masing buah
beratnya antara 400-1200 gr, namun ada pula varietas yang buahnya mencapai 5
kg. Nilai energinya antara 470-670 kJ per 100 gram. Tidak mengherankan bila
sukun menarik minat para penjelajah Barat, yang kemudian mengimpor tanaman ini
dari Tahiti ke
Amerika tropis (Karibia)
pada sekitar akhir 1780an untuk menghasilkan makanan murah bagi para budak di sana.
- Daunnya
dapat dijadikan pakan
ternak. Kulit batangnya menghasilkan serat yang bagus yang pada masa lalu
pernah digunakan sebagai bahan pakaian lokal.
- Getahnya
digunakan untuk menjerat burung, menambal (memakal) perahu, dan
sebagai bahan dasar permen karet.
- Kayu
sukun atau timbul berpola bagus, ringan dan cukup kuat, sehingga kerap
digunakan sebagai bahan alat rumah tangga, konstruksi ringan, dan membuat perahu.
Timbul, kulur, atau kluwih (yang berbiji) lebih banyak dipetik tatkala
muda, untuk dijadikan sayur lodeh, sayur asam,
atau ditumis dengan cabai.
Biji timbul yang tua juga kerap direbus, digoreng, atau disangrai untuk dijadikan camilan.